Rabu, 10 September 2025

Beberapa waktu terakhir, demonstrasi besar kembali mengguncang jalanan Nepal. Ribuan warga—kebanyakan anak muda—turun ke jalan, marah dan muak terhadap pemimpin mereka yang dinilai gagal, korup, dan hidup dalam kemewahan di tengah kesengsaraan rakyat. Gaya hidup hedonis, flexing kekuasaan, dan ketidakpekaan terhadap krisis ekonomi memicu gelombang protes yang tak bisa dibendung. Nepal kembali terjerumus dalam ketidakstabilan politik dan sosial.

Apa yang terjadi di Nepal bukanlah hal yang unik. Justru, ini adalah cermin yang mengarah lurus ke wajah Indonesia hari ini.

Ketika Rakyat Tak Lagi Tahan Melihat Pemimpin Hidup dalam Kemewahan

Nepal selama beberapa tahun terakhir dikecewakan oleh elite politik yang sibuk memperkaya diri sendiri, bukan memperbaiki nasib rakyat. Ketimpangan merajalela, pengangguran tinggi, dan harga kebutuhan pokok melonjak tajam. Di tengah itu semua, gaya hidup elite yang memamerkan mobil mewah, rumah megah, dan pesta-pesta eksklusif menjadi bahan bakar kemarahan publik.

Demonstrasi pun meledak. Istana dikepung. Kepercayaan publik runtuh.

Tragisnya, sebagian pemimpin di Nepal bahkan seolah hidup di dunia lain—mengabaikan sinyal bahaya yang datang dari rakyat sendiri.

Tanda-Tanda Itu Sudah Terlihat

Indonesia seharusnya tidak merasa aman-aman saja. Gejala serupa mulai muncul di sini. Ketika rakyat bergelut dengan kenaikan harga beras, susah mencari kerja, dan akses pendidikan makin mahal, sebagian elite justru sibuk pamer kekayaan, dari mobil listrik puluhan miliar, jam tangan ratusan juta, hingga liburan mewah ke luar negeri.

Bahkan, di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi publik, muncul tren baru: flexing kekuasaan. Jabatan publik dipamerkan seperti medali, bukan amanah. Gaya hidup pejabat dan anak-anaknya menjadi bahan olok-olok dan kemarahan netizen, tapi pemerintah seolah tidak mendengar.

Dan ketika kritik disampaikan, justru rakyat yang dikriminalisasi.

Demonstrasi di Indonesia Bukan Lagi Soal Isu Tunggal

Aksi-aksi protes di Indonesia, baik yang dilakukan mahasiswa, buruh, petani, maupun masyarakat adat, bukan lagi sekadar soal kebijakan tertentu. Di balik semua itu, ada akumulasi kekecewaan: terhadap ketimpangan, terhadap ketidakadilan, dan terhadap gaya kepemimpinan yang kehilangan empati.

Jika kita tidak hati-hati, Indonesia bisa mengarah ke titik yang sama seperti Nepal: kehilangan kepercayaan publik, munculnya krisis sosial, dan instabilitas politik yang panjang.

Pemimpin Harus Jadi Contoh, Bukan Simbol Kemewahan

Nepal membuktikan bahwa gaya hidup elite yang tidak berpihak pada rakyat akan berujung krisis. Indonesia seharusnya belajar dari itu. Pemimpin bukan hanya dinilai dari kebijakan di atas kertas, tapi juga dari gaya hidup dan nilai-nilai yang mereka tunjukkan ke publik.

Di tengah kesenjangan ekonomi dan tekanan hidup, rakyat butuh pemimpin yang hidup sederhana, yang hadir di tengah mereka, yang tidak menjadikan jabatan sebagai panggung, tetapi sebagai tanggung jawab.

Arah Indonesia Ditentukan Hari Ini

Kita bisa menunggu sampai kemarahan rakyat memuncak seperti di Nepal. Tapi itu adalah pilihan yang ceroboh. Lebih bijak jika kita melihat demonstrasi di Nepal sebagai peringatan dini—bahwa arah Indonesia harus dikoreksi sekarang, bukan nanti.

Pemimpin Indonesia harus memilih: menjadi simbol harapan rakyat atau menjadi simbol krisis yang akan dikenang dengan kemarahan.

Kolam Inspiratif

“Teknologi informasi dan bisnis menjadi saling terjalin dengan erat. Saya tak berpikir siapa pun dapat berbicara salah satunya dengan penuh makna tanpa membicarakan satu yang lainnya”

Arsip

Flickr Images

About us

Populer

Biografi Tokoh

Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie
Prof. Dr.(H.C.) Dahlan Iskan

Materi Kuliah IT

Image Retrieval
Computer Security
Riset Teknologi
Interaksi Manusia dan Komputer
Rekayasa Perangkat Lunak
Sistem Informasi
Grafika Komputer